Bersama

tumblr_li89bztwJs1qfosqaSemua akan indah pada saatnya, begitulah kebanyakan orang berkata. Saatnya kapan adalah pertanyaan tak berkesudahan antara Qay dan Ken. Senyum, tertawa, hingga diam adalah jawaban Ken. Yah, lima tahun sudah berlalu, rutinitas seperti hari ini selalu berulang sebanyak entah sudah berapa kali, Qay sudah malas menghitungnya. Ia bercermin untuk kedua kalinya, memastikan wajahnya cantik seperti minggu-minggu biasanya.

“Hari ini nonton lagi kak?”

Mama membuat Qay menoleh dari cermin bedak padatnya. Senyum Qaynita terpasang cantik bersama lipstik baby pinknya.

“Lipstik aku bagus kan mah?” Qay memaju-munduri bibir tipisnya. Mama mengangguk saja, tapi Qay bisa membaca satu pertanyaan di mata perempuan dalam hidupnya itu.

Helaan napas mama terdengar, saat ia membalikan badannya keluar dari kamar anak perempuannya, Qay. Cinta itu tak pernah surut, walau Qay belum tahu kapan bahagia itu bermuara seperti kemauan orang tuanya.

***

“Kamu cantik Qay, hari ini,” ungkap Ken memandang gadis itu. Seperti Qay hapal, wangi kue vanila, manis, membuat ia tersenyum dan melupakan pertanyaan di kepalanya yang hendak segera tahu jawabannya. Jemarin Ken memilin rambut Qey, hitam berkilau itu yang membuat Ken selalu rindu di dekat gadis ini.

“Kata teman-teman kantor, bakalan panjang antriannya nih!”

“Oh, ya kalau antri ga jadi aja Ken,” Respon Qay datar, dengan menatap kedua matanya yang ternyata lupa diberi cila pada cermin panahan matahari di kursinya. Ken menoleh, dua detik. Jalanan di hadapannya, hanya padat tak berarti.

“Qay?”

“Hemm,,”

“Kamu bosan?”

“Apa yang harus membuatku bosan?”

“Entah, tapi apapun itu, aku gak mau buat kamu merasakan itu,”

“Semoga ya.. udah lampu merah Ken,”

Mobil Ken melaju, seperti pikiran Ken saat ini. Qaynita Hasina, teman perempuan paling dekat untuknya. Ia tahu, semua harus segera diakhiri. Mimik Tante Seroja, mamanya Qay sudah membuatnya berpikir sore ini, ditambah, ia hanya mama Qay yang biasanya, selalu menepuk bahunya memberi semangat hidup untuknya itu, dari balik kaca rumah. Apakah ini waktu yang tepat? Ken menghela napas panjang, membuat Qay mengerutkan kening-berpikir mengapa ia rela menunggu sekian lama?

***

5 Oktober 2010

“Sekarang semua berada di tanganku sendiri Qeynita..”

Payung-payung hitam berlalu – hilang dari pandangan. Rintik hujan mulai tak terasa jatuh di tangan. Semua orang bersapu tangan, menyeka linangan air mata mulai kembali pulang. Hanya Ken dan Qay di sana, memandangi dua nama kecintaan Ken.

Pundak Ken terasa hangat berkalung lengan Qey, sambil mendengar bisikan, “Sabar, aku di sini,”

“Untuk apa? Mengasihani aku?”

“Bukan, aku bukan mereka yang meninggalkanmu karena segala yang tak akan didapati lagi dari orang tuamu Ken,”

Keduanya bertatapan, di sana ada ketenangan. Ketakutan seakan sirna, kata sendiri gugur dalam benak Ken. Ia anak tunggal yang kini benar-benar tunggal. Duduk di bangku SMA yang tak akan lama lagi meninggalkan baju putih abu-abunya. Kenaz merasa kehangatan itu tulus dari Qeynita untuknya.

“Jangan menjadi rapuh, seperti dedaunan kering di sana,”

“Engga akan, selama kehangatan ini ada di sini..” ungkap Ken berbisik, sesaat memeluk Qey.

***

Ucapan teman-teman Ken ada benarnya. Seperti ular tangga, panjang antrian film yang mereka akan tonton nyata terlihat di depan mata. Semenjak turun dari mobil, wajah Ken datar tak seperti biasanya, jemari Qey kosong dari jemari Ken. Qeynita menyapu seluruh ruang di XXI, tidak ada satu pun yang ia kenal. Harapnya, bertemu seseorang agar memecah suasana beku diantara mereka.

“Pulang aja yuk?” ajak Qey tak ada ide. Ken masih berdiri dan terdiam, pikiran lelaki ini seperti tak berada di sini.

“Ken? Mau berdiri di sini, sampai kapan? Antriannya terlalu panjang, paling kita dapat jam malam. Aku ogah ah!” celoteh Qey mulai gerah dengan suasana ramai dan sikap dingin Ken.

“KEN?!” bentak Qey sebal, dan hampir meninggalkan Ken keluar tempat ramai itu, tapi, tangan Ken menggenggam pergelangan tangan Qey. Merangkul dan berjalan ke restoran kesukaan mereka.

Sudah cukup perenungan sepanjang jalan tadi, kejadian lima tahun silam membuat Ken bulat untuk keputusan ini. Usahanya untuk lulus tak akan berarti tanpa kerja kerasnya sebagai wartawan sebuah tabloid tanaman. Ia bekerja memiliki tujuan, satu, menjadi sarjana sesuai keinginan orang tuanya dahulu. Kini, ia tidak lagi harus bersusah payah mengejar berita, beritalah yang datang menghampirinya untuk dimuat dalam tabloid yang ia rintis bermodalkan sedikit warisan orang tuanya. Ya, Ken telah memiliki tabloid sendiri, ilmu dari masa lalunya berhasil membawa ia ke posisi sekarang ini. Tapi semua ini tak akan benar-benar terwujud, tanpa semangat, tanpa dorongan tulus darinya.

“Udah marahnya?” Ken merayu gadis di hadapannya. Qey merengut kesal, hingga dimsum di depannya tidak tersentuh. Dimsum adalah kesukaan Qey, ia selalu kalap dihadapkan dengan makanan berwujud siomay satu ini. Dan Ken hapal betul, ketika sikap Qey begini, ia tak boleh berlama-lama membiarkannya.

“Kalau kamu diam terus, aku makan semua ya dimsumnya?”

“Qey?

“Ya, aku kenyang kok!” Qey mulai bersuara. Ia merogoh ponsel dari dalam tasnya. Jemari gadis itu mulai melayang di layar ponselnya dan mengacuhkan Ken.

Ken menghela napas, berpikir harus bagaimana ia memulainya. Biasanya, kalau Ken ngambek, ia harus berpura-pura ke toilet dan Qey tak akan malu memakan makanannya. Baiklah, pada akhirnya Ken mengalah dan berdiri dari bangkunya, berpura-pura menuju toilet, namun berbalik arah keluar resto.

“Ken? kenapa dia malah pergi?” keluh Qey sambil menyumpit satu dimsum di depannya. Rasanya melayang memenuhi langit-langit mulutnya. Membuatnya sedikit bahagia, tapi pikirannya tak sebahagia rasa enak dimsum di mulutnya.

> Kamu ke toilet mana? jangan kira aku enggak tahu kamu keluar KEN! <

Qey menekan send, pada layar ponselnya. Ken keterlaluan, meninggalkan Qey di saat hatinya seperti ini. Menunggu, ya ia sadar telah membuang-buang waktu menunggu Ken mengatakan keseriusan padanya. Ia percaya bahwa kedekatan ini akan berujung indah, tapi kebersamaan mereka mungkin memang hanya sebatas sahabat. Ken tidak pernah benar-benar serius akan bersamanya. Setetes air jatuh di pipi Qey, kini perasaan takut, sia-sia menggelut di relung hatinya.

“Keterlaluan, jika memang begitu, aku saja yang bodoh. Lalu aku harus menyalahkan siapa? Ken? Tidak, ini bukan salahnya. Ini kemauanku, menunggu dan menunggu… mungkin ia juga cinta padaku…” ucap Qey berbisik lirih, menunduk  sendiri.

Harum vanila tercium, Qey terlanjur membasahi pipinya dengan air mata. Ken, sepertinya telah duduk di hadapannya lagi. Isakan tangisnya terlanjur terdengar, gadis itu tak sanggup menahan sakit di dadanya. Ia telah kehilangan keyakinannya, ia tak tahu akan kemana bila hatinya tak bersama harapan dan doanya selama ini.

“Qey,” suara Ken, menghentikan isakan tangis Qey seketika. Bodoh, benar-benar Ken mengetahui ia tengah menangis. Degup jantung Qey makin berdegup cepat, ia enggan mendongakan wajahnya. Ia tahu matanya kini setengah sembab dan ia tak tahu harus menjawab apa, sebabnya ia menangis.

“Aku mendengar kamu menangis! Aku enggak ninggalin kamu, toilet di resto penuh, jadi aku keluar…”

Qey masih terdiam, rasa malunya membuat ia tak sanggup menatap wajah lelaki di hadapannya.

“Masih ingat apa kata-kataku dulu Qey? Aku tak akan rapuh… tapi hari ini aku melihat kamu hampir rapuh…atau mungkin sudah,”

“Enggak!” Qey menolak ungkapan itu, sampai Ken berhasil melihat wajah semababnya.

“Qey, apa yang membuatmu menangis seperti ini? Aku?”

“……….”

“Baiklah, kita sudahi saja Qey hari ini. Aku sudah berpikir, ini paling baik untuk kita.”

Dada Qey, seperti akan meledak mendengar ucapan Ken. Menyudahi? maksudnya selesai antara mereka? Qey merasa matanya memanas kembali, mungkin ia lebih baik berlari – menangis sendiri, tidak di depan Ken, lelaki yang bersamanya tanpa jelas, sahabat atau pacar.

“Kita pulang.” ajak Ken dan Qey berusaha tidak melemah saat itu juga.

***

“Tadi aku lupa membungkus makanan kita! Ah sudah mahal-mahal dibayar, kamu enggak makan Qey..” protes Ken berusaha memecahkan suasana sepi antara mereka. Tapi percuma, Qey terfokus pada suasana di luar jendela.

“Aku saja belum makan, kamu udah ya tiga? Haha laper kan kamu! Pake malu-malu. Aku tadi agak pusing, maaf ya..” usaha Ken gagal, Qey masih terdiam dan belum menoleh ke arahnya.

Ken melihat tangan Qey, bergetar dan…

“Aku mau turun di sini,” Qey setengah memaksa. Ia sudah tak sanggup lagi menahan derasanya air mata tertahan di pelupuknya.

“Gak boleh! Apa-apaan sih kamu!” tegas Key, melajukan lebih cepat mobilnya dan memastikan semua pintu terkunci.

“AKU MAU TURUN!”

“GAK!”

Nada, itu membuat mobil Ken berhenti di pinggir trotoar dan Qey berhasil meledak seketika dengan isak tangisnya.

“Kamu kenapa sih Qey?”

“Aku kenapa? Kamu tanya sama diri kamu sendiri Ken. Aku kenapa! Katamu, kita sudahi semua. Tapi, kenapa aku harus pulang sama kamu lagi? Kita SUDAHI KAN?” suara Qey terdengar melengking, rasa sakit itu menyebar hingga otaknya. Ken dibuatnya heran, ia merasa sudah salah berbicara.

“Tunggu, udah jangan nangis lagi. Adanya kamu, buat hidupku sempurna Qey…”

“Lalu, apa? Kenapa harus kamu sudahi?”

Mereka berdua terdiam. Qey melanjutkan tangisnya dengan sepuluh jemarinya menutupi wajahnya. Dan Ken, tak membuang waktu lagi, ia tahu ini waktu yang sempurna untuk mengungkap semuanya.

“Aku tak pernah mengungkapkan cinta, aku tak pernah mengatakan sayang, tapi apalah kalau semua hanya kata-kata. Adanya kamu, buat semua menjadi lengkap dan aku ingin kita menyudahi semua ini, dengan ini…” dari sakunya, Ken mengeluarkan kotak pink bludru, ia membukanya dan menyematkan benda bundar itu pada jari Qey.

“Berlabuhlah dalam hidupku, Qey.. tanpa jeda waktu yang membuat kita selama ini menunggu..”

Qey makin terisak, mengangguk dan memeluk Ken. Rasa hangat itu masih sama seperti kebersamaan mereka lima tahun lalu. Dan akan selalu begitu, selama dua degup jantung mereka bertemu.

Tamat

2 Komentar

Filed under Uncategorized

2 responses to “Bersama

Tinggalkan komentar