The Diary – Cerbung

By : Nuzula Fildzah

“Usang sekali benda ini. Parasnya seperti kulit yang telah menua berpuluh tahun lamanya. Mengapa dia ada di dalam kumpulan barang bekas yang hendak ibuku buang?” ucapku sendiri sambil mengusap-usap wajahnya yang berpoles debu. Ternyata cantik juga parasnya, warna merah muda pada sampulnya membuat aku langsung jatuh hati padanya. Ia menggoda aku dan tampaknya aku tak ingin ia terbuang sia-sia oleh tumpukan barang bekas di dalam kardus buruk rupa ini. Aku ingin memilikinya.

“ Bu, apakah ibu kehilangan sesuatu milik ibu?” tanyaku sambil memijat bahu ibu yang kelelahan sepulang ia bekerja. Ibu hanya menggeleng dan hanya menikmati jari-jemariku memeremas punggunya halus. Yah ibu tampaknya memang lelah sekali, sudahlah mungkin ibu memang sudah tidak membutuhkannya lagi, jadi lebih baik aku simpan saja untukku.

***

Tak jarang aku merasa benci pada malam. Malam yang mengingatkanku akan malam setahun lalu. Malam yang ku awali dengan peri-peri cinta yang pernah memanahkan hatiku dengan hatinya, hingga aku merasa malam bagai siang, tak pernah gelap dan tak sedingin air mata yang jatuh di wajahku malam ini karena hadirnya. Namun semua telah leyap ditelan angin hitam yang menjauhkannya dari hariku. Hingga aku merasa sunyi di setiap kali waktu berputar membawa mentari tenggelam dari penglihatanku. Tuhan kembalikan malamku, tolong kembalikan ia untukku.

Rasanya lelah juga setelah aku menghabiskan malam dengan melukis bintang lewat cahaya dan rasanya percuma aku hanya mengeluh pada sang kuasa tanpa mencoba tuk bernafas dengan kenyataan ini. Aku tak ingin terus berlari dalam bisikan hati yang berontak dalam fakta yang kulalui. Hanya kamera tua peninggalan pamanku yang bisa membuatku merasa terhibur di setiap malamku.

“ Sa, angin malam tidak baik Sa. Lebih baik kamu lekas kembali ke kamarmu, dan segera tidur. Jangan habiskan waktumu untuk menyendiri di luar, nanti ayah marah jika melihat kebiasaanmu itu.” kata ibu yang sepertinya memperhatikan aku sejak tadi dari luar jendela. Aku hanya mengangguk, dan mengambil gambar lampu jalanan yang bersinar terang di luar pagar rumahku dengan kameraku, lalu segera masuk ke dalam rumah.

“Ayah mengapa tak pernah mengerti aku, dari dulu hingga saat ini. Mengerti hatiku apalagi. Aku hanya ingin menghibur diri dengan memotret langit malam, tetap saja ia terlalu berlebihan mengkhawatirkan aku.” Keluhku berbisik sambil memasuki ruang kamarku. Aku berjalan kecil menuju tempat persinggahan yang pasti aku tempati di dalam kamar ini. Ya Merebahkan tubuh di kasur memang obat yang paling mujarab untuk menghilangkan lelah. Aku memeluk guling kusamku yang telah lemas bagai tak berkapuk lagi. Gimana tidak rupanya seperti itu, umur gulingku sama seperti umurku, 18 tahun. Ibu mencucinya, namun tak pernah menggantinya dengan yang baru karena aku bisa menangis jika gulingku diganti dengan yang baru. Yah walaupun sudah lusuh namun entah mengapa aku hanya suka memeluk guling milikku ini. Sambil memeluk guling, aku mengarahkan kedua bola mataku ke meja riasku. Dan seketika itu juga aku bangun dari kasurku dan berjalan mendekat ke meja riasku. Tanganku menjalar menyentuh si merah muda. Aku baru ingat padanya setelah kemarin aku membawanya keluar dari gudang yang penuh debu. Kasihan dia, padahal ia masih cantik dan ternyata setelah aku lihat lebih dalam, ini masih dapat ku pakai. Namun aku masih terheran-heran mengapa ada beberapa bagian dari dirinya yang hilang, tampak seperti ditarik secara paksa. Namun walaupun begitu aku tetap ingin menjadikan ia sahabatku, tempat aku berbagi bisikan kalbu.

Sekarang kamu yang ada di dekatku. Kamu memang bisu dan kaku. Tapi aku tahu kamu penyalur doaku dan harapku. Malam ini aku ingin mulai mewarnaimu dengan ombak yang ada di dalam hatiku. Maaf jika terlihat seperti menjadikamu pelampiasanku. Aku hanya tak mengerti harus berbagi dengan siapa. Karena semua tak pernah mengerti, teman.

Semua berawal dari hobi fotografi yang dua tahun belakangan ini aku geluti. Namun aku menjadi mahir karena dia. Dia muncul di saat aku memang membutuhkan seorang yang dapat menuntunku lebih baik. Awalnya ia datang dengan rasa simpatik terhadap hobiku, namun canda, dan tawa kami merajut sebuah simpatik menjadi segenggam simfoni kasih. Semua berjalan indah dan semua terekam lewat foto-foto diriku dan dirinya yang terlukis lewat jepretan penuh rasa lebih dari sekedar partner fotografi. Namun semua itu redup, karena wanita itu. Aku hanya ingin bertemu dengannya, walau hanya bisa memandangnya dari kejauhan. Teman, aku harap aku dapat melihatnya lagi. Enam bulan berlalu tanpanya, aku rindu.

BERSAMBUNG….

3 Komentar

Filed under Cerpenku

3 responses to “The Diary – Cerbung

  1. Aghisni

    jd penasaran dg ending nyah,,,

    ditunggu deh…

  2. facy " ^_^

    hmm ,, ceritanya baguss juga .. !!!

    kaya di film2 … boleh juga .. ywdh ” Lanjutkan .. ^^

Tinggalkan Balasan ke zulazula Batalkan balasan